Percobaan-percobaan
dalam laboratorium dapat meliputi berbagai jenis pekerjaan diantaranya
mereaksikan bahan-bahan kimia, destilasi, ekstraksi, memasang peralatan, dan
sebagainya. Masing-masing teknik dapat
mengandung bahaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tentu saja
bahan tersebut sangat berkaitan dengan penggunaan bahan dalam percobaan,
sehingga susah untuk memisahkan bahaya antara teknik dan bahan. Walaupun
demikian, dapat kiranya diuraikan secara tersendiri dan bersifat umum dari
bahaya berbagai macam teknik dan bahan, sehingga memungkinkan untuk memperkecil
dan memperkirakan bahaya yang dapat timbul dalam kaitanyya dengan teknik dan
bahan yang digunakan.
A. Reaksi Kimia
Semua
reaksi kimia menyangkut perubahan energi yang diwujudkan dalam bentuk panas.
Kebanyakan reaksi kimia disertai dengan pelepasan panas (reaksi eksotermis),
meskipun adapula beberapa reaksi kimi yang menyerap panas (reaksi endotermis).
Bahaya dari suatu reaksi kimia terutama adalah karena proses pelepasan energi
(panas) yang demikian banyak dan dalam kecepatan yang sangat tinggi, sehingga
tidak terkendalikan dan bersifat destruktif (merusak) terhadap lingkungan,
termasuk operator/orang yang melakukannya.
Banyak
kejadian dan kecelakaan di dalam laboratorium sebagai akibat reaksi kimia yang
hebat atau eksplosif (bersifat ledakan). Namun kecelakaan tersebut pada
hakikatnya disebabkan oleh kurangnya pengertian atau apresiasi terhadap
faktor-faktor kimia-fisika yang mempengaruhi kecepatan reaksi kimia. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan suatu reaksi kimia adalah konsentrasi
pereaksi, kenaikan suhu reaksi, dan adanya katalis.
Sesuai
denga hukum aksi masa, kecepatan reaksi bergantung pada konsentrasi zat
pereaksi. Oleh karena itu, untuk percobaan-percobaan yang belum dikenal
bahayanya, tidak dilakukan dengan konsetrasi pekat, melainkan konsentrasi
pereaksi kira-kira 10% saja. Kalau reaksi telah dikenal bahayanya, maka
konsetrasi pereaksi cukup 2 – 5 % saja sudah memadahi. Suatu contoh, apabila
amonia pekat direaksikan dengan dimetil sulfat, maka reaksi akan bersifat
eksplosif, akan tetapi tidak demikian apabila digunakan amonia encer.
Pengaruh
suhu terhadap kecepatan reaksi kimia dapat diperkirakan dengan persamaan
Arhenius, dimana kecepatan reaksi bertambah secara kesponensial dengan
bertambahnya suhu. Secara kasar apabila suhu naik sebesar 10 oC,
maka kecepatan reaksi akan naik menjadi dua kali. Atau apabila suhu reaksi
mendadak naik 100 oC, ini berarti bahwa kecepatan reaksi mendadak
naik berlipat 210 = 1024 kali. Di sinilah pentingnya untuk
mengadakan kendali terhadap suhu reaksi,
misalnya dengan pendinginan apabila reaksi bersifat eksotermis. Suatu contoh
asam meta‑nitrobenzensulfonat pada suhu sekitar 150 oC akan meledak akibat reaksi penguraian
eksotermis. Campuran kalium klorat, karbon, dan belerang menjadi eksplosif pada
suhu tinggi atau jika kena tumbukan, pengadukan, atau gesekan (pemanasan
pelarut). Dengan mengetahui pengarauh kedua faktor di atas maka secara umum dapatlah
dilakukan pencegahan dan pengendalian terhadap reaksi-reaksi kimia yang mungkin
bersifat eksplosif.
B. Pemanasan.
Pemanasan
dapat dilakukan dengan listrik, gas, dan uap. Untuk laboratorium yang jauh dari
sarana tersebut, kadang kala dipakai pula pemanas kompor biasa. Pemanasan
tersebut biasanya digunakan untuk mempercepat reaksi, pelarutan, destilasi,
maupun ekstraksi.
Untuk
pemanasan pelarut-pelarut organik (titik didih di bawah 100 oC),
seperti eter, metanol, alkohol, benzena, heksana, dan sebagainya, maka
penggunaan penangas air adalah cara termurah dan aman. Pemanasan dengan api
terbuka, meskipun dengan bagaimana api sekecil apapun, akan sangat berbahaya
karena api tersebut dapat menyambar (meloncat) ke arah uap pelarut organik.
Demikian juga pemanasan dengan hot plate juga
berbahaya, karena suhu permukaan dapat jauh melebihi titik nyala pelarut
organik.
Pemanasan
pelarut yang bertitik didih lebih dari 100 oC, dapat dilakukan
dengan aman apabila memakai labu gelas borosilikat dan pemanas listrik (heating matle). Pemanas tersebut ukurannya harus sesuai besarnya labu gelas.
Penangas minyak dapat pula dipakai meskipun agak kurang praktis. Walaupun
demikian penangas pasir yang dipanaskan dengan terbuka, tetap berbahaya untuk bahan-bahan
yang mudah teerbakar. Untuk keperluan pendidikan, pemanas bunsen dengan
dilengkapi anyaman kawat (wire gause)
cukup murah dan memadahi untuk bahan-bahan yang tidak mudah terbakar.
C. Destruksi.
Dalam
analisis kimia terutama untuk mineral, tanah, atau makanan, diperlukan
destruksi contoh agar komponen-komponen yang akan dianalisis terlepas dari
matriks (senyawa-senyawa lain). Biasnya reaksi destruksi dilekukan dengan asam
seperti asam sulfat pekat, asam nitrat, asam klorida tanpa atau ditambah atau
ditambah peroksida seperti persulfat, perklorat, hidrogen peroksida, dan
sebagainya. Selain itu, biasanya reaksi juga harus dipanaskan untuk mempermudah
proses destruksi. Jelas dalam pekerjaan destruksi terkumpul beberapa faktor
bahaya sekaligus, yaitu bahan berbahaya (eksplosif) dan kondisi suhu tinggi
yang menambah tingkat bahaya.
Oleh
karena itu, destruksi harus dilakukan amat berhati-hati, diantaranya adalah
dengan:
1.
Pelajari dan ikuti prosedur
kerja secara seksama, termasuk pengukuran jumlah reagen secara tepat dan cara pemanasannya.
2.
Percobaan dilakukan dalam
almari asam. Hati-hati dalam membuka dan menutup pintu almari asam pada saat
proses destruksi berlangsung.
3.
Lindungi diri dengan
kacamata/pelindugn muka dan sarung tangan pada setiap kali bekerja.
4.
Terutama bagi para pekerja baru
atau yang belum berpengalaman, diperlukan supervisi atau konsultasi dengan yang
lebih berpengalaman.
Dengan
cara di atas akan dapat dicegah terjadinya ledakan yang dapat mengakibatkan
luka oleh pecahan kaca atau percikan bahan-bahan kimia yang panas dan korosif.
D. Destilasi.
Destilasi
merupakan proses gabungan antara pemanasan dan pendinginan uap yang terbentuk
sehingga diperoleh cairan kembali yang murni. Bahaya pemanasan cairan dapat
dihindari dengan memperhatikan sub-bab
pemanasan. Dalam pemanasan cairan biasanya ditambahkan batu didih (boililng chips), untuk mencegah
pendidihan yang mendadak (bumping).
Batu didih yang berpori perlu diganti setiap kali akan melakukan destilasi
kembali. Untuk destilasi hampa udara (vacum
destilation), aliran udara melalui kapiler ke dalam bagian bawah labu dapat
merupakan pengganti batu didih.
Bahaya
yang sering timbul dalam pendingin Leibig adalah kurang kuatnya selang air baik
dari keran maupun yang menuju pipa pendingin. Lepasnya selang air dapat menyebabkan
banjir dan proses pendinginan tidak berjalan dan uap cairan berhamburan ke
dalam ruangan laboratorium. Oleh karena itu, terutama untuk destilasi yang
terus-menerus atau sering ditinggalkan, hubungan selang dengan keran dan pipa
pendingin perlu diikat dengan kawat.
Labu didih
yang terbuat dari gelas perlu dipilih
yang kuat. Labu didih bekas atau yang telah lama dipakai, diperiksa terlebih
dahulu terhadap kemungkinan adanya keretakan atau scratch. Hal ini penting, terlebih-lebih untuk destilasi vakum. Apabila
pemanasan yang dipakai adalah penangas air, maka perlu diingat bahwa suhu
permukaan bak penangas yang terbuat dari logam, dapat melebihi titik nyala dari
pelarut yang dalam labu. Dengan demikian, harus dapat dihindarkan kontak antara
cairan dengan permukaan penangas, baik pada saat mengisi labu destilasi dengan
cairan maupun pemasangan atau pembongkaran peralatan destilasi.
E. Refluks.
Refluks
juga merupakan gabungan anrara pemanasan cairan dan pendinginan uap, tetapi
kondensat yang terbentuk dikembalikan ke dalam labu didih. Karena prosesnya
mirip dengan destilasi, maka bahaya teknik tersebut serrta cara pencegahannya
adalah sama dengan teknik destilasi.
F. Pengukuran Volume
Cairan
Memipet
cairan atau larutan dalam volume tertentu dengan pipet, secara umum tidak
diperkenankan memakai mulut untuk menghindari bahaya tertelan dan kontaminasi.
Uap dan gas beracun dapat larut dalam air ludah (saliva). Memakai pompa karet (rubber
bulb) untuk mengisi pipet merupaian cara yang paling aman dan praktis, meskipun
memerlukan sedikit latihan. Sedangkan untuk cairan yang korosif dapat dilakukan
dengan pipet isap (hypodermic syringe).
Apabila
menuangkan cairan korosif dari sebuah botol, lindungi label botol terhadap
kerusakan oleh tetesan cairan. Untuk
menuangkan cairan ke dalam gelas ukur bermulut kecil, perlu dipakai corong
gelas agar tidak tumpah.
G. Pendinginan.
Karbon
dioksida padat (dry ice) dan nitrogen
cair adalah pendingin yang sering dipakai. Keduanya dapat membakar atau
“menggigit” kulit, sehingga dalam
penanganannya harus memakai sarung tangan dan pelindung mata. Karbon
dioksida dapat dipakai bersama-sama dengan pelarut organik untuk menambah
pendinginan. Karena banyak terbentuk gas (penguapan) maka pelarut yang
digunakan harus nontoksik dan tidak mudah terbakar. Propana-2-ol lebih baik
daripada pelarut organik terklonisasi atau aseton yang mudah terbakar.
Notrogen
cair biasa dipakai sebagai “trap” uap air dalam destilasi vakum, agar air tidak
merusak pompa. Dalam pendinginan tersebut udara dapat pula tersublimasi menjadi
padat, termasuk oksigen dan hal ini berbahaya bila bercampur dengan bahan
organik. Labu Dewar tempat nitrogen cair perlu
pula dilindungi dengan logam agar tidak berbahaya bila pecah.
Baik
karbon dioksida mapun nitrogen mempunyai
berat jenis yang lebih berat daripada udara, sehingga dapat mendesak udara
untuk pernafasan. Oleh karena itu, bekerja dengan kedua pendingin tersebut
perlu dalam ruang yang berventilasi baik atau di ruang terbuka. Dalam
transportasi di gedung bertingkat, keduanya sama sekali tidak boleh diangkut
melewati lift penumpang. Kemacetan lift yang dapat terjadi sewakti-waktu, dapat
berakibat fatal karena gas tersebut akan mendesak oksigen dan kematian tidak
dapat dihindarkan.
H. Perlakuan Terhadap
Silika.
Silika
dalam bentuk partikel-partikel kecil yang terserap ke dalam paru-paru dapat
menimbulkan penyakit silikosis. Percobaan-percobaan dalam kromatorgrafi lapis
tipis, banyak memakai bubuk halus silika gel. Hindarkanlah bubuk halus
tersebut, karena dapat terjadi hamburan di dalam ruang udara pernafasan kita.
Asbes juga
merupakan sumber partikel silika dan dengan panjang serat sebesar 5 mikron
sangat berbahaya. Asbes sebagai bahan isolasi panas dalam laboratorium perlu
dilapisi lagi dengan bahan yang dapat mencegah partikel halus beterbangan di
udara tempat kita bernafas.
Glass wool apabila tidak
hancur tidaklah berbahaya bagi paru-paru. Akan tetapi serat-serat glass wool tersebut sangat halus dan
tajam serta dapat masuk ke dalam kulit apabila dipegang langsung oleh tangan
kita. Ini akan menimbulkan gatal-gatal atau sakit dan oleh karena itu memegang glass wool harus dengan penjepit dari
logam atau plastik.
I. Perlakuan Terhadap Air
Raksa.
Percobaan-percobaan
dengan manometer atau polarografi selalu memakai air raksa yang cukup berbahaya
karena sifat racunnya (NAB = 0,05 mg/m3). Tetesan-tetesan air raksa
dapat melenting atau meloncat tanpa dapat dilihat oleh mata kita, dan pecah
berhamburan di atas meja kerja. Partikel-partikel kecil ini juga sukar kita
lihat apalagi kalau sampai masuk ke celah-celah atau retakan-retakan meja.
Apabila tidak hati-hati, maka ruang di mana kita bekerja dapat jenuh dengan uap
air raksa. Udara ruangan yang jenuh dengan uap air raksa berarti telah jauh
melebihi nilai ambang batas (NAB) uap air raksa tersebut.
Untuk
menghindari bahaya tesebut di atas, daerah kerja dengan air raksa perlu dipasang dulang (tray) yang diisi air, agar percikan air raksa dapat dikumpulkan.
Ventilasi yang baik sangat diperlukan, dan apabila tidak ada, maka bekerja dalam
ruangan yang terbuka jauh lebih aman daripada dalam ruangan tertutup.
J. Bekerja Dengan
Peralatan Sinar Ultraviolet dan Sinar X.
Banyak
pekerjaan yang dilakukan dengan peralatan yang memancarkan cahaya ultraviolet
(UV) seperti spektrofotometer atau kromatografi lapis tipis (TLC). Cahaya
ultraviolet dapat merusak, dan terutama kerusakan pada korena mata. Oleh karena
itu, harus dapat dihindarkan keterpaan cahaya ultraviolet pada mata, baik pada saat membuka peralatan
spektrofotometer maupun pada saat menyinari noda-noda kromatografi lapis tipis
(TLC) dengan cahaya ultraviolet.
Peralatan
yang memakai sinar-X, seperti fluoresensi atau difraksi sinar-X, lebih
berbahaya lagi bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Sinar-X mempunyai daya
tembus yang kuat dan dapat merusak sel-sel tubuh. Usaha untuk menghindari serta
melindungi diri terhadap kemungkinan keterpaan radiasi sinar-X (yang tak dapat
dilihat oleh mata) merupakan suatu keharusan dalam bekerja dengan peralatan
tersebut.
Dengan
sendirinya, hal yang sama pula dilakukan bila kita bekerja dengan peralatan
yang memancarkan sinar gamma yang lebih kuat daripada snar-X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar