Kontruksi berarti
bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern.
Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil
dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.
Dengan teori
konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan
masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham
karena mereka terlibat langsung dalam
mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu
mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selain itu siswa terlibat
secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep.
Pembentukan
pengetahuan menurut model konstruktivisme memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun
pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan
oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah
dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus
melalui proses rekonstruksi (Piaget,1988:60).
Yang terpenting
dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran
siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno, 1997 : 81).
Belajar lebih
diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi
dengan teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan
ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada
pebelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya
(outcome) juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu.
Pengetahuan yang ditransformasikan diciptakan dan dirumuskan kembali
(created and recreated), bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
Bentuknya bisa objektif maupun subjektif, berorientasi pada
penggunaan fungsi konvergen dan divergen otak manusia ( Semiawan,
2001: 6 ).
Pengetahuan dalam
pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis
dan tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan
gagasan, gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana.
Dalam konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti
lain dengan arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus selalu
pengalaman fisis seseorang seperti melihat, merasakan dengan
indranya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu berinteraksi
secara pikiran dengan suatu obyek (Suparno, 1997 : 80). Dalam
konstruktivisme kita sendiri yang aktif dalam mengembangkan
pengetahuan.
Hakikat
pembelajaran Konstruktivistik
Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun
pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan
oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah
dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus
melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting
dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran,
si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus
aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang
lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih
diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi
dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan
ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada
pebelajar.
Beberapa hal yang
mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1)
mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang
relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam
konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya
mengkonstruksi pengalaman (Pranata,.)
Hakikat pembelajaran
konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan
bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu
berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan
refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar
si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
Aspek-aspek
Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan
aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh
J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan
melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah
proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru
dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus.
Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses
individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam
menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok
dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan
mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru
yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang
telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi
merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila
dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi
terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah
akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau
munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan
proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan
setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi
kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya
Tingkatan
pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian
disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada
seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal
pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa
dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa
dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai
keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti
upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa
ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan
oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi
intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu
equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada
penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting
yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar
informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development.
Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan
kompetensi.
Sumbangan penting
teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara
aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi
kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu
dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi
saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun
tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah
secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan dan
pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman.
Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar
tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi
dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang
sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa
bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa.
Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu
siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi
dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan
penataan kelas.
Paradigma
konstruktivisme dalam pembelajaran
- Memahami paradigma konstruktivisme
Dalam pembahasan
pembelajaran, pengkajian yang mendalam tentang paradigma
konstruktivisme merupakan suau tuntutan baru di tengah terjadinya
perubahan besar dalam memaknai proses pendidikan dan pembelajaran.
Pergeseran paradigm pembelajaran yang sebelumnya lebih
menitikberatkan pada peran guru, fasilitator, instruktur yang
demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada
pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan
partisipasi di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat,
berkembangnya konstruktivisme tidak terlepas dari perubahan pandangan
yang cukup lama menenpatkan pengetahuan sebagai representasi
(gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat
(objektivisme).
Dalam mencermati
realitas kehidupan sehari-hari para konstruktivis mempercayai bahwa
pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang berusaha
mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
(seorang guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman mereka (Lorsbach & tobin, 1992).
Suatu ha yang sangat
penting adalah pandangan konstruktivisme yang memberikan tempat yang
luas bagi perkembangannya pemikiran-pemikiran baru sebagai akibat
perubahan lingkungan dan perkembangan seseorang. Sebagai contoh
pengetahua tentag kucing, bukanlah pengetahuan yang sekali terjadi,
tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Ketika kita masih kecil,
kita sering bermain-main dengan kucing, menjamah dan memeluknya, dan
hal tersebut seringkai kita lakukan. Melalui pengalaman tersebut kita
menkonstruksi pengetahuan tentang kucing, sejauh dapat kita rekamdari
pengalaman. Demikian itu terjadi secara terus menerus sehingga
pembentukan pengetahuan kita terhadap sesuatu obyek semakin kokoh,
denga semakin banyaknya interaksi kita dengan lingkungan.
Dalam sebuah
kesimpulannya Glaserfeld dan Kitchener (1987) memberikan penekanan
tentang 3 hal mendasar berkaitan dengan pemahaman terhadap gagasan
konstruktivisme, yaitu :
- Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupaka konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
- Subjek merupakan skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
- Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan, dan konsepsi itu berlaku bila berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
- Implikasi Konstruktvisme dalam pembelajaran
Konstruktivisme
memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam upaya
menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan merupakan kegiatan
mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau fakta. Dalam proses
pembelajaran siswa bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya
sendiri.
Mencermati peran
keaktifan siswa yang sangat penting di dalam konstruktivisme, ada
baiknya kita membandingkan dengan pandangan behaviorisme. Dalam
pandangan behaviorisme belajar lebih merupakan aktivitas pengumpulan
informasi yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan konstruktivis,
pengetahuan itu adalah kegiatan kegiatan aktif siswa meneliti
lingkungannya.
Meskipun menurut
pandangan konstruktivis upaya membangun pengetahuan dilakukan oleh
siswa melalui kegiatan belajar yang ia lakukan, namun peran guru
tetap menempati arti penting dalam pembelajaran. Dalam pandangan ini,
mengajar memang tidak hanya diartikan menyampaikan informasi, akan
tetapi lebih menitikberatkan perannya sebagai mediator dan
fasilitator.
TfC - TfC T-F - T-F - Tinian - TfC T-F - TfC T-F | Tito - TfC T-F - TfT - TfC T-F | Tito - TfT - TfC T-F.
BalasHapusTfC - TfC T-F. edge titanium - TfC T-F - columbia titanium boots TfC rainbow titanium T-F. A TfT TfT TfT - TfT. black titanium fallout 76 TfC TfT. A TfT TfT, TfT TfT T-F, TfT, TfT, TfT - TfT | TfT - TfT. 2020 ford edge titanium for sale | TfT. | TfT. | TfT. | TfT. | TfT.