Arman menatap jam dinding, waktu sudah
menunjukkan pukul satu pagi, sudah 4 jam yang lalu ia duduk khusyuk memeriksa
tugas anak didiknya yang dikiri lewat email. Pemuda berbadan kekar ini memang
tidak menyukai mengulur- ngulur tanggung jawabnya, sebagai dosen dan ia
termasuk Dosen yang tidak sukaasal memberi nilai pada anak didiknya. Ia
menghela napas panjang, jari-jari kekarnya menekan tuts keyboard. Sesaat
kemudian, ia sudah men-shut down komputernya. Mati.
Ya, sudah 2 tahun ini, Arman menjalani status barunya
sebagai sorang Dosen di sebuah universitas, selain sebagai pengusaha yang
dikenal sebagai pemilik cafetaria “sedap” yang terkenal dengan kelezatan dan
keramahan pelayanannya. Arman merebahkan tubuh atletisnya di dipan, pikirannya
menerawang mengingat masa-masa pahitnya sebagai anak yang dilahirkan dari
keluarga yang makan untuk sehari pun harus bekerja sepanjang hari dan 5
kakak-kakak perempuannya yang menikah cepat karena tidak ada biaya untuk
melanjutkan sekolah, si kecil Arman tidak pernah bercita-cita untuk bisa
menginjak bangku SMA karena mengingat susahnya mencari uang untuk sekedar
makan. Tapi, itu adalah masa lalu yang kelam, kegigihannya untuk merubah hidup
membuatnya berhasil saat ini. Ia bersyukur. Sesaat kemudian ia terlelap.Pukul 3
pagi Arman kembali terbangun, mengambil air wudhu, menunaikan shalat malam yang
telah menjadi kebiasaanya sejak SMA. Ya Rabb,,,
***
“ Arman, kapan menyusul nih?” tanya Ahmad ketika
menyerahkan undangan pernikahannya.
Arman
tersenyum.
Ahmad adalah teman seperjuangannya, sejak
kecil Arman telah mengenal sosok Ahmad, si kecil dari keluarga terpandang, yang
kini telah bekerja di sebuah instansi milik pemerintah.
“selamat
ya Ahmad, mungkin jodohnya ana belum datang neh, masih malu-malu ketemu ma
abangnya” canda Arman.
“huh!
Bilang aja, masih belum kepengen nikah!” ujar Ahmad nyengir.
Mereka
berdua tertawa.
***
Kilasan kejadian beberapa waktu lalu membuat Arman
mendesah. Hampir semua teman seangkatannya sudah menikah. Memang, untuk laki-laki
yang umurnya sudah menginjak 27 tahun memang layak memiliki pendamping hidup,
tapi Arman masih tidak ingin menikah untuk saat ini, Ia tidak ingin perempuan
yang dinikahinya hanya melihat keberhasilannya saat ini, ia ingin istrinya
kelak bisa menerima dia apa adanya, melihat Arman dari bentuk yang sederhana bukan
dari glamour popularitasnya yang menanjak seperti roket.
***
“ lama nunggu ya,
Arman?” tanya Khalid, teman satu organisasinya dulu di Lembaga Dakwah kampus.
Khalid
tersenyum.
“ana
juga baru datang”
Mereka
berdua duduk di kursi paling sudut di cafetaria milik Arman.
“tumben
ente telepon ana sepagi ini, Man”
Arman
menunduk.
“
pasti soal nikah ya?”tebak Khalid.
“kok
tahu!” ujar Arman berbinar.
Khalid
terkekeh, “Arman,,,Arman,,, itu mudah ditebak kok!, masa seorang Arman yang
sudah mapan, agama alhamdulillah juga bagus,umur pun sudah layak untuk menikah”
“
ya, akh! Ana lagi gundah,,,”
“boleh
ana tebak?” potong Khalid.
Arman
mengangguk.
“
masih nunggu Irma ya?”
Arman
kembali mengangguk.
Khalid
mengkerutkan keningnya, menatap tajam sahabatnya.
“Arman,
jangan nunggu seseorang yang belum jelas, Irma sudah menghilang dari kehidupan
kita sejak 2 tahun yang lalu!!” Khalid menegaskan.
Arman
menunduk, seperti sedang divonis oleh pengadilan
“
tapi menurut ana, Cuma Irma yang bisa menggaet hati ana, kesederhanaannya,
sopan satunnya, ana tahu Irma tak secantik, cewek-cewek yang sengaja mendekati
ana sekarang ini” jelas Arman.
“ya
terserah mas Arman aja, ana cuma bisa menasihati dan membantu seadaanya
selebihnya itu kembali sama mas Arman sendiri tapi satu hal yang ana mau bilang
lupain Irma, lupain Irma” jelas Khalid menambahkan.
Khalid menatap lekat Arman yang masih tertunduk, ada sedikit
nanar dihatinya,memang tidak salah Arman mengharapkan Irma menjadi pendamping
hidupnya, akhwat yang sederhana dan cekatan dan Arman yang dikenalnya sebagai seorang yang
gigih, yang tidak pernah mengeluh, Arman yang selalu dipuji oleh para wanita,
Arman yang bentuk fisiknya hampir sempurna, tinggi, putih, badan tegap dan
kekar dengan face yang mendukung pula, siapapun akan sulit melupakan wajahnya
dan tentunya idaman kaum hawa tentu mereka akan menjadi pasangan yang sangat
serasi, Arman, Arman dan Arman yang pernah membuatnya iri dengan kesmpurnaan
yang dia miliki, tapi inilah Arman yang rapuh karena cinta.
***
Hari berikutnya Arman
mengajak Khalid untuk bertemu kedua kalinya di cafetaria milik Arman.
“Khalid,
ana sudah memikirkan ucapan Akhi yang
kemarin, memang gak seharusnya ana terlalu berharap dengan Irma, gak seharusnya
pengharapan ini membuat hati ana tertutup untuk mencari pendamping hidup” ujar
Arman panjang lebar.
Khalid
tersenyum.
“
nah! Ini Arman yang ana kenal, insya Allah ana bantu” ujar Khalid berjanji
seraya menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
Mereka
berdua menyerut es jeruk bersamaan, tersenyum. Ada titik terang.
***
Seminggu berselang, Khalid datang langsung ke rumah Arman
yang baru dibelinya 6 bulan yang lalu, rumah sederhana itu seakan tidak
mencermikan gemerlap kesuksesan Arman saat ini, tapi lebih condong
menggambarkan kesedarhanaan pemiliknya.
Arman
yang kebetulan sedang duduk membaca sebuah buku, segera berdiri menyambut
kedatangan Khalid sahabatnya.
“assalammu’alaikum”
“wa’alaikumsaalam”
Mereka
berdua berjabat tangan.
“silahkan
duduk akhi,,, tunggu sebentar ana
ambil minum dulu”
“gak
usah repot-repot Man,,,!”
“gak
apa-apa, tunggu sebentar ya!”
Arman
masuk, meninggalkan Khalid yang duduk di beranda depan.
Sesaat
kemudian Arman sudah datang dengan secangkir teh dan beberapa makanan ringan.
“aduh!Man, jadi ngerepotin”
Arman
tersenyum.
“
ini kek yang dibilang repot!”
Arman
kemudian duduk disamping Khalid, beberapa kertas putih dikeluarkan Khalid di
tas ransel hijau lumut miliknya.
“Arman,
ini ada biodata seorang akhwat, pokoknya insya Allah gak meragukan deh!”Khalid
membuka pembicaraan.
Arman
menerima 2 buah kertas yang berisi biodata seorang akhwat.AISYAH HUMAIRA
“gimana
menurut ente ?”
“Humaira, umur 23 tahun bekerja sebagai guru
TK di sebuah kota pinggiran, memiliki kemampuan berbahasa arab dan inggris,
menguasai tafsir qur’an,,,bla,,,bla,,,”
“gimana
Man?”
“ana
coba dah ta’aruf ma akhwat pilihan ente”
***
Tidak
perlu membutuhkan waktu yang lama,
Khalid segera mempertemukan mereka berdua di cafetaria milik Arman, dengan
ditemani kakaknya, ta’aruf itu pun berakhir setelah satu jam mereka
berbincang-bincang tentang kehidupan mereka masing-masing.
***
3 minggu berlalu terasa begitu cepat menurut Arman, Ia
mencoba memantapkan hatinya dengan akhwat yang saat ini ta’aruf dengannya,
Humaira. Semuanya berlalu begitu cepat, mereka bertemu disebuah kafe dekat
Arman mengajar, mereka berdua sepakat untuk meneruskan semuanya kejenjang yang
lebih serius.
Proses pelamaran, persiapan pernikahan pun tidak ada
kendala yang berarti, semuanya berjalan sesuai rencana, tapi pengharapan itu
masih bersarang dihati Arman, ia masih berharap dengan kedatangan Irma.
Ketika semuanya hampir beres, perasaan itu kembali
mengganjal ketika Irma datang kembali
dalam kehidupan Arman, membantunya unuk menyiapkan persiapan acara yang begitu
sakral buat pasangan yang ingin menikah.
“wah!selamat
ya mas Arman, gak nyangka mas Arman menikah dengan teman ana”
Deg!
TEMAN??
Seandainya,
kau datang lebih cepat pernikahan ini mungkin ini takkan terjadi, seandainya
kau datang lebih cepat, mungkin saat ini kau yang akan bersanding denganku,
mengarungi bahtera rumah tangga bersama-sama. Ah! seandainya,,,
***
Haruskah aku meneruskan pernikahan ini, haruskah aku
membiarkan perasaan ini bergejolak, haruskah aku tetap belajar untuk mencintai
Humaira,,, haruskah,,, haruskah,,,????
“Arman, jangan ada yang menghalangimu untuk tidak
melanjutkan pernikahan ini,sungguh memalukan bila ente melakukan itu, ente
pikirkan kedepannya bila pernikahan ini batal, jangan mengikuti nafsu ente
saja. Irma mungkin bukan jodoh ente,,, jangan terlampau berharap,,, Allah Maha Mengetahui
mana yang terbaik buat hambanya dan hapuslah nama Irma dihati ente, jangan
sampai itu nantinya menjadi masalah dalam rumah tangga ente dengan Humaira”
Khalid menasehati seakan mampu membaca pikiran yang sedang mengganggu pikiran
sahabatnya.
Arman terdiam
sejenak.
“akhi benar, tidak seharusnya ana terlalu berharap, Irma
mungkin bukan pilihan terbaik menurut Allah”
Arman
tersadar, memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, ia tidak
seharusnya terlalu berharap dengan Irma, Irma bukan jodohnya, tapi Humaira-lah
yang akan menjadi pendampingnya, belajar untuk ikhlas dan belajar untuk
mencintai calon istrinya, HUMAIRA. Subhanallah, mengapa ini tidak pernah
terbersit sebelumnya?